Hambatan mental bukan hambatan bagi remaja Muslim untuk menimba ilmu di pondok pesantren. Tak hanya menimba ilmu agama, para santri di bawah asuhan Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Hidayatullah ini juga mampu menjadi insan yang produktif.
Berbekal mesin bubut seharga Rp 75 juta sumbangan seorang donatur di tahun 2003, mereka membuat aneka onderdil kendaraan bermotor. Penghasilan bersih yang dihasilkan sebulan mencapai Rp 30 ribu.
Jenis onderdil yang diproduksi oleh PSAA Hidayatullah, di antaranya kanvas rem, gir roda, plat kopling, jari-jari, serta velk. Keuntungan yang diperoleh santri tersebut sekitar 25 persen dari hasil penjualan onderdil.
Onderdil yang diproduksi para santri ini disalurkan ke PT Astra, M Class (pabrik genting), Pireli (pabrik kabel), serta sejumlah bengkel di Bandung.
Dalam mengoperasikan mesin milling sumbangan donatur itu, santri dibimbing oleh para mahasiswa Politeknik Manufaktur (Polman) yang terletak di Dago, Bandung. Bahkan, unit kegiatan ini kini mempunyai wadah sendiri, Balai Latihan dan Keterampilan Anak Asuh (BLKAA). Pekan lalu, BLKAA Hidayatullah diresmikan oleh Hj Iyan Obar Sobarna, istri Bupati Bandung, Obar Sobarna.
Kegiatan usaha santri Hidayatullah tersebut sempat dilirik oleh PT PLN Distrik Jabar-Banten. Pekan lalu, General Manajer PT PLN Distrik Jabar-Banten, Murtaqi Syamsudin, menyerahkan bantuan mesin milling secara cuma-cuma.
''PLN tidak hanya beroperasi dalam usaha bisnis listrik saja. Kami juga berkewajiban mengembangkan usaha kecil menengah,'' ujar Murtaqi. Kemitraan PLN dengan Pontren Hidayatullah, aku Murtaqi, diharapkan mampu memecahkan persolan ekonomi bangsa. Bahkan, pihaknya yakin, santri Hidayatullah akan turut berinisiatif menjaga aset PT PLN di wilayahnya.
Kemandirian santri memang menjadi bidikan utama Pontren Hidayatullah bandung. Pasalnya, sebagian besar santri mengalami hambatan mental.
Dalam kesehariannya, sistem yang diterapkan pontren tersebut seperti sebuah panti asuhan. Itu sebabnya, Pontren Hidayatullah Bandung terdaftar di Departemen Sosial sebagai sebuah panti sosial asuhan anak (PSAA).
Namun bagi para pengasuhnya, pantang untuk menyebut siswanya terlambat mental. ''Kami juga lebih suka memanggil santri, ketimbang anak asuh. Karena panggilan anak asuh akan membuat anak tersebut tidak percaya diri,'' ujar Ketua DPD Hidayatullah Bandung, Ir Usman B Hanafi. Menurut dia, asal dibimbing, mereka juga sama dengan anak-anak normal lainnya.
Di pondok, mereka dibimbing oleh para uztadz. Keberadaan ustadz di Pontren Hidayatullah, papar dia, harus berperan sebagai orang tua, bukan sebagai pengasuh dan guru ngaji. Dengan demikian, maka santri di pontren tersebut tidak akan merasa kehilangan orang tuanya.
Meski situasi di pontren tersebut berpolakan sebuah keluarga, namun setiap santri harus tetap mengikuti kaidah-kaidah pesantren. Kini, pontren yang berdiri tahun 1992 ini memiliki 35 santri, yang berasal dari beberapa kota di Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, serta Sumatera.
Seperti halnya pada sebuah keluarga, hampir seluruh santri di pontren tersebut berstatus sebagai pelajar SD, SMP, SMA, dan mahasiswa. Santri tersebut diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungan di luar pesantren.
Tetapi, sebelum santri tersebut melakukan aktivitas di sekolahnya, mereka diwajibkan memenuhi aturan di pontrennya. Misalnya, setiap pagi mereka harus membaca Alquran berjamaah dan mendengarkan pepatah dari para ustadz.
Pontren yang terletak di Jalan Terusan Cimuncang, Kecamatan Cimeunyan, Kabupaten Bandung itu, hanya dikelola oleh empat ustadz. Mereka tinggal bersama santri di pontren tersebut. Dengan fasilitas lima kamar, santri di pontren tersebut tampak hidup nyaman.
Memasak, mencuci, serta mengelola tempat tinggalnya sudah menjadi kebiasaan sehari-hari santrinya. ''Setiap hari kami masak dan makan bersama,'' ujar Asep Maulana, seorang satri.
Sesuai misi dari Pengurus Pusat Hidayatullah yang berada di Balikpapan, keberadaan pesantren harus mampu menciptakan manusia yang mandiri dan berpotensi. Tidak heran bila di Pontren Hidayatullah disediakan wadah keterampilan.
Selain keterampilan membuat onderdil kendaraan, para santri juga diajari cara mengelola hewan ternak. Di atas lahan pontren seluas 1.600 meter persegi, para santri memelihara beberapa hewan ternak. Lahan itu merupakan tanah wakaf dari seorang pengusaha kosmetik, Nurhayati Subalat.
Kegiatan beternak sudah dimulai sejak tahun 1992. Karena hasil beternak belum mencukupi kebutuhan santri saat itu, maka biaya hidup sehari-hari mereka disuplai oleh sejumlah donatur. Baru sekitar tahun 2003, santri di pontren seluas 1.600 meter persegi itu, bisa hidup mandiri.
Apalagi setelah seorang donatur memberi bantuan sebuah mesin penggilingan bahan untuk onderdil kendaraan bermotor tadi. Mesin yang dibeli dari Jepang dengan harga Rp 75 juta itu, kini menjadi sumber mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup santri.*/Dokrep/Agustus 2005