Oleh: Wandi Bustami*
HIDAYATULLAHJABAR.COM || Umat Islam merupakan umat yang
satu. Dalam berkasih sayang dan mencintai mereka bagaikan satu tubuh yang
apabila satu dari anggota tubuhnya sakit maka anggota tubuh lainnya pun ikut
bersama-sama merasakan sakit.
Rasulullah
ﷺ juga pernah menggambarkan bahwa orang
Islam itu dalam kebersamaan bagaikan sebuah bangunan yang kokoh. Perumpamaan satu tubuh dan satu bangunan yang
melekat pada jati diri kaum muslimin merupakan suatu isyarat bahwa umat islam
harus bersatu dalam segala hal.
Tidak
mungkin umat ini bisa kuat, disegani dan ditakuti bila bercerai-berai. Allah
subhānahu wa ta’ālā berfirman:
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖ
Artinya:
“Berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, janganlah
bercerai berai.” (QS Ali ‘Imrān 103).
Seperti
yang saksikan saat ini. Pertumbuhan kaum muslimin sangat massif. Jumlahnya
setiap hari terus bertambah.
Namun
dalam waktu bersamaan kekuatan dan gaungnya semakin lemah dan kecil. Mengapa
hal itu bisa berlaku? Bukankah seharusnya semakin besar suatu bangsa dan
semakin banyak penduduknya akan semakin kuat?
Benar!
Seharusnya umat ini dengan jumlah yang banyak akan kuat, disegani dan bahkan
ditakuti. Dalam buku-buku sejarah dipaparkan secara baik dan jelas bahwa umat
Islam pernah berada di puncak tertinggi dalam segala bidang.
Mereka
maju dari aspek kedokteran, falak, filsafat, astronomi dan ilmu eksak lainnya
di samping pengetahuan agamanya juga bagus dan tak kalah penting umat Islam
pernah menjadi penguasa dunia dalam kurun waktu yang cukup lama. Namun bila
kita perhatikan beberapa hari belakangan dan juga beberapa tahun silam. Saudara
kita yang berada di Palestina terkhusus di Masjid al-Aqsha kiblat pertama umat
Islam dan Gaza hidup di bawah bayang-bayang ketakutan.
Nyaris
setiap hari mereka merasakan hidup dalam keadaan tertekan, cemas, was-was dan
jauh dari rasa aman dan nyaman. Apa penyebabnya?
Boleh
jadi karena kkum muslimin tidak bersatu, umat Islam tercerai-berai; Mereka
bagaikan santapan di atas meja makan; terombang-ambing bagai buih di lautan.
Apakah
semua ini berlaku karena kuantitas kaum muslimin sedikit? Tidak! Jumlah kaum
muslim dewasa ini nyaris memenuhi seperempat bumi. Namun kenapa masih lemah,
dizhalimi, diintimidasi dan dibunuh di negerinya sendiri?
Rasulullah
ﷺ telah memberikan jawaban mengenai
pertanyaan-pertanyaan tersebut secara detail dalam hadits-hadits
eskatologi/akhir zaman. Rasulullah ﷺ bersabda:
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
Artinya: Dari [Tsauban] ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda: “Hampir saja bangsa-bangsa memperebutkan
kalian (umat Islam), layaknya memperebutkan makanan yang berada di atas meja
hidangan.” Seorang laki-laki berkata, “Apakah kami waktu itu berjumlah
sedikit?” beliau menjawab: “Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak,
namun kalian seperti buih di genangan air. Sungguh Allah akan mencabut rasa
takut kepada kalian, dan akan menanamkan ke dalam hati kalian Al wahn.”
Seseorang lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Al-wahn?” beliau menjawab:
“Cinta dunia dan takut mati.”
(HR: Abu Daud).
Secara
tegas hadits ini menjelaskan bahwa umat Islam kala itu dalam keadaan lemah,
tertindas, teraniaya, karena cinta mereka terhadap dunia dan takut mati.
Sulthan
Ali al-Qārī rahimahullah berkata: Kala itu umat Islam menang dari segi
kuantitas namun kalah kualitas. Tercabutnya rasa takut dari musuh dan tumbuhnya
sifat wahan di dalam hati adalah penyebabnya. (Dalam Mirqātu al-Mafātīh/3365).
Bila
hadits di atas disarikan maka penyebab ketidak-pedulian seorang Muslim dengan
saudaranya adalah sebagai berikut;
1.
Cinta
Dunia
Cinta
dunia mengaburkan segalanya. Karena dunia seseorang bisa menjadi materialistis
yang kemudian hilangnya rasa simpati dan belas kasih antar sesama. Dunia dapat
mengelabui penghuninya jika tidak memiliki iman di dada. Karena dunia itu indah
dan mengasikkan.
Allah
subhānahu wa Ta’ālā berfirman:
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ اِلٰى مَا مَتَّعْنَا بِهٖٓ اَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ەۙ لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ ۗوَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَّاَبْقٰى
Artinya:
“Janganlah sekali-kali engkau tujukan pandangan matamu pada kenikmatan yang
telah Kami anugerahkan kepada beberapa golongan dari mereka (sebagai) bunga
kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu
lebih baik dan lebih kekal.” (QS: Thaha 131).
At-Thabari
berkata: “Allah swt berpesan kepada nabi Muhammad ﷺ agar tidak terpengaruh dengan banyaknya kenikmatan dunia
yang diberikan kepada orang-orang kafir yang kemudian berujung pada
pengingkaran terhadap perintah tuhan mereka.” (Dalam Tafsīr at-Thabarī 18/403).
Al-Baghawi
bertutur: Maksud sebagai bunga kehidupan ialah dunia memiliki keindahan yang
luar biasa. (Dalam Tafsīr al-Baghawi 5/303).
Selain
itu, dunia sangat manis sehingga bisa menghipnotis orang-orang yang lupa akan
tujuan hidup. Maka tak heran ketika Rasulullah ﷺ
mewanti-wanti akan bahaya dunia.
Rasulullah
ﷺ bersabda:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
Artinya: “Dari [Abu Sa’id Al Khudri] dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya dunia itu manis. Dan
sesungguhnya Allah telah menguasakannya kepadamu sekalian. Kemudian Allah
menunggu (memperhatikan) apa yang kamu kerjakan (di dunia itu). Karena itu
takutilah dunia dan takutilah wanita, karena sesungguhnya sumber bencana Bani
Israil adalah wanita.” (HR: Muslim).
Terkait
hadits ini Ibnu ‘Alān berkomentar, “Dunia diserupakan dengan buah-buahan yang
manis nan hijau sebab sesuatu yang manis disukai dari rasanya sedangkan sesuatu
yang hijau disenangi kala memandangnya.” (dalam Dalīl al-Fālihīn 1/255).
Dunia
sangat mengasikkan, menggoda, manis, indah dan menawan itu dapat mematikan hati
untuk berempati. Hilangnya ada rasa iba dan belas kasihan melihat saudaranya
dianiaya, dizhalimi, diusir dan bahkan dibunuh; Ia hanya memikirkan diri dan
keluarganya saja.
Ketika
hartanya diminta untuk membantu saudaranya yang sedang kesulitan atau diminta
untuk dikeluarkan di jalan Allah swt dengan pongah dan congkak ia mengatakan;
mengapa saya harus mengeluarkan harta untuk mereka yang susah payah saya
mengumpulkannya?. Maka inilah model manusia yang cinta dunia. Jahil, acuh, tak
peduli dengan orang lain.
Padahal
syarat untuk mendapatkan pertolongan Allah swt ialah dengan memberikan
pertolongan kepada sesama. Rasulullah ﷺ bersabda:
وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
Artinya:
“Allah akan selalu menolong seorang hamba selama hamba tersebut mau menolong
saudaranya.” (HR: Abu Daud)
2.
Takut Mati
Adapun
sebab kedua sikap acuh seorang muslim dengan saudaranya ialah takut mati.
Ketika seseorang menyuarakan kebenaran, membela keadilan dan tegak di atas yang
hak maka ia sedang memposisikan dirinya dalam keadaan bahaya.
Karena
ia akan mendapat banyak kecaman, hujatan dan bahkan fitnah yang bertubi-tubi.
Sesungguhnya itulah sikap ksatria. Mereka pahlawan perjuangan. Nilai keimanan
sungguh telah mengkristal di dada mereka. Mati menjadi cita-cita tertinggi
mereka.
Namun
apabila mereka takut akan dicaci, dikecam, dihujat dan difitnah maka diam
menjadi pilihan terbaiknya. Mereka takut karirnya mati, nama baiknya rusak,
ekonominya kolaps dan jabatannya hilang. Karohiyatul maut! takut mati!
Di
saat maraknya seruan memboikot produk Yahudi, mereka justru mereka membela
mati-matian. Mereka takut kepentingannya terusik, takut targetnya gagal, takut
tidak mendapat bantuan dan masih banyak ketakutan-ketakutan lainnya yang
bersarang di dada mereka.
Imam
al-Ghazali dalam Mīzānu al-‘Amal berkata: “Ada empat yang membuat orang takut
mati, 1) Karena ingin menikmati dunia selama-lamanya. 2) Tidak siap berpisah
dengan orang yang dicintai. 3) Ketidak-tahuan pasca kematian dan 4) Takut
dengan dosa-dosa.”
Dari
empat poin ini terdapat dua poin yang berkaitan dengan poin pertama yaitu cinta
dunia. Karena terlalu cinta dengan dunia maka ketakutan akan kematian pasti
akan muncul. [ ]
*penulis
adalah Asatidz Tafaqquh Study Club, Pekanbaru
Sumber:
hidayatullah.com