Pemimpin Itu Membahagiakan, Bukan Menyengsarakan




Oleh: Hamid Abud Attamimi*


HIDAYATULLAHJABAR.COM  - - Alangkah  beratnya ujian Allah kepadaku.. ” Itulah untaian kata yang terucap oleh Umar Bin Abdul Aziz sambil duduk dan menangis begitu mengetahui dirinya dipilih untuk menjadi Khalifah, pemimpin umat Islam.



Kepemimpinannya yang amat singkat, cuma lebih kurang tiga tahun, tercatat dalam sejarah dengan tinta emas.  Sekalipun tak berlangsung lama, namun Khalifah Umar Bin Abdul Aziz telah menorehkan watak dan karakter Kepemimpinan yang sederhana, egaliter, tawadhu, telaten, sabar, adil dan pembela dhuafa.


Sesuatu yang amat fenomenal ketika dibawah kepemimpinannya adalah, bahkan para pembayar zakat (muzakki) kesulitan untuk menunaikan kewajibannya, karena sedemikian makmurnya kondisi masarakat. Subhanallah.



Begitulah dampak yang luar biasa dari cara seseorang ketika mempersepsikan apa yang menimpa atau dialami dirinya.  Khalifah Umar Bin Abdul Aziz memandang jabatan sebagai ujian, bahkan ujian yang sangat berat, maka reaksinya adalah menangis.



Pastilah terbayang oleh dirinya akan apa yang mesti dipertanggungjawabkan olehnya dihadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.  Berbeda dengan kebanyakan pejabat di negara ini, pengumuman promosi kenaikan jabatan atau pengangkatan baru disambut dengan sujud sukur, dan pelukan hangat keluarga.


Begitulah ekspresi ketika merasa mendapatkan karunia atau hadiah, bahkan sesuatu yang mungkin sudah lama diimpi-impikan. Perasaan suka cita ini yang sering akhirnya membuat lupa bahwa pada sebuah Kepemimpinan melekat tanggung jawab, dan justru jika tak mampu berhati-hati akan mengiring si pemangkunya pada kondisi merugi.


Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka. Seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas siapa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829).

Rasulullah ﷺ di penghujung hayatnya, ketika membayang ajal telah semakin mendekat, apakah yang terbayang dan menjadi kecemasannya,… “Ummatiiy… Ummatiiy… Ummatiiy” (umatku, umatku, umatku!)


Begitu agung akhlak ke Nabiannya dan begitu indah teladan Kepemimpinannya. Umat adalah yang pertama dan terakhir dalam hati dan pikirannya.


Beliau amat menyadari bahwa Ia tak diutus untuk sebagian orang, separuh bumi, tapi seluruh umat manusia di segala penjuru dan pelosok bumi.


Rasulullah ﷺ tak dipilih oleh masarakat dan sahabatnya, tetapi Ia dipilih dan dipersiapkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.  Ia adalah Rahmatan Lil ‘Aalamiin, artinya tak cuma bagi keluarga dan sahabatnya.


Muhammad Rasulullah ﷺ tak pernah berbohong pada sahabat dan musuhnya, pemberi keadilan bagi yang percaya dan tak mempercayainya, penebar kesantunan bagi yang menyertai dan mencacinya, bahkan penuh kasih bagi setiap ciptaan-NYA dari hewan dan tetumbuhan.


Karena Rasulullah ﷺ begitu sangat ingin semua orang berbahagia karena memilih Islam sebagai satu-satu Dien yang ada disisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.


Pada seorang Pemimpin seharusnya melekat kepribadian yang melepaskan segala ego dan interest yang berujung pada hasrat diri akan penghargaan, pujian, gengsi, dan segala atribut yang tak terkait pada mensejahterakan dan membahagiakan mereka yang dipimpinnya.


Karena apapun yang bersumber dari manusia, sepenting dan secerdas apapun ia, tak pernah luput dari harapan yang menyertainya, maka Pemimpin yang amat mendamba puja puji dari yang dipimpinnya, sejatinya ia sedang memuaskan hati dan kepentingannya.


Bersyukurlah atas karunia Allah, dan bersabarlah pada apa yang belum kita dapatkan, teruslah memperbaiki kedekatan dan ibadah kita pada Allah, karena sesungguhnya pertolongan dan kemenangan pasti dan hanya bagi mereka yang beriman dan tawakkal pada-NYA.


Pemimpin yang baik dalam arti seutuhnya tak muncul secara instant, karena sejatinya Pemimpin mencerminkan rakyatnya.  Rakyat yang mencintai kebaikan, adalah refleksi dari keyakinan yang memenuhi jiwanya, kesadaran bahwa hidup tak selesai disini, karena Akhirat adalah saat ketika kita semua menuai apa yang ditanam. Nashrun Minnallah Wa Fathun Qoriib. [ ]


Sumber: hidayatullah.com


Red: iman