Berpegang Teguh Pada Sunnah


HIDAYATULLAHJABAR.COM
- - Sumber utama amaliah dan ibadah dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah, berikutnya qiyas dan ijtihad. Terkait dengan sunnah kita bisa merujuk pada hadis Rasulullah Saw yang disampaikan dari Abi Najih ‘Irbadh bin Sariyah –semoga Allah meridoinya–, ia berkata, Rasulullah Saw. menasihati kami dengan nasihat yang begitu indah yang membuat hati bergetar  dan airmata berderai. Kami berkata,

 

 

 

“Wahai Rasulullah, tampaknya nasihat ini nasihat perpisahan, maka berwasiatlah untuk kami.” Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. bersabda, “Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun dipimpin oleh seorang hamba bangsa Ethiopia (berkulit hitam). Dan sesungguhnya siapa yang hidup (berusia panjang) di antara kalian pasti akan menyaksikan banyak pertikaian. Maka, kalian wajib berpegang-teguh kepada sunnahku dan sunnah para  khulafur-rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi taring. Dan hindarilah perbuatan yang diada-adakan. Karena setiap bid’ah adalah sesat.” (H.R. Abu Dawud dan Attairmidzi, hadits hasan shahih)

 

 

 

Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. Memang sering dan biasa memberikan nasihat (mau’izhah). Tetapi, kali ini para sahabat merasa bahwa nasihat Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam berbeda dari biasanya. Mereka menangkap nasihat kali ini adalah nasihat perpisahan dan setelah itu beliau tidak akan lagi memberi nasihat karena tidak lama lagi akan dipanggil ke haribaan-Nya.

 

 

 

Lantas nasihat apakah gerangan yang dimaksud oleh ‘Irbadh bin Sariyah dalam hadis itu sebagai nasihat perpisahan. Dalam hadis tersebut memang tidak disebutkan langsung apa yang dimaksud dengannya. Akan tetapi, dalam hadis-hadis lain terdapat beberapa pernyataan Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam yang oleh Ibnu Rajab Al-Hambali dalam kitabnya yang berjudul Jami’ul-‘Ulumi Wal Hikam dinilai sebagai bagian dari nasihat (yang bernuansa) perpisahan.

 

 

 

Di antaranya, pernyataan Abdullah bin Umar –semoga Allah meridoinya–, “Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. keluar menemui kami pada suatu hari seperti akan berpisah dengan kami, seraya mengatakan, ‘Aku Muhammad adalah nabi yang tidak baca tulis –mengucapkannya tiga kali– dan tidak ada nabi sepeninggalku. Aku dikarunia kunci-kunci  kalimat (ajaran), penutupnya dan kalimat yang ringkas-padat. Aku juga mengetahui berapa jumlah penjaga neraka, pemikul arasy...’”

 

 

 

Uqbah bin ‘Amir mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. naik mimbar bagaikan seseorang yang mengucapkan selamat tinggal kepada yang hidup seraya mengatakan, “Aku tidak takut kalian kembali menjadi musyrik sepeninggalku. Yang aku takutkan adalah kalian berlomba-lomba mengejar dunia dan saling bunuh. Maka kalian akan binasa sebagaimana binasanya umat sebelum kalian.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

 

 

Nah itulah beberapa kemungkinan yang disebut dengan mau’izhati muwaddi’in (nasihat perpisahan). Dan, begitulah sensitifitas para sahabat terhadap isyarat-isyarat yang disampaikan oleh Rasul. Mereka memandang masa depan dengan penuh antisipasi terhadap segala kemungkinan. Mereka selalu berfikir tentang nasib mereka di kemudian hari sepeninggal Rasulullah Saw.  Karenanya, mereka memanfaatkan kesempatan yang tidak akan pernah kembali itu dengan membekali diri dengan hal-hal yang berguna untuk menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat.

 

 

 

Bekal itu memang mereka dapatkan. Sebab, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. memenuhi permintaan mereka dan memberikan wasiat, “Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun dipimpin oleh seorang hamba bangsa Ethiopia (berkulit hitam). Dan sesungguhnya siapa yang hidup (berusia panjang) di antara kalian pasti akan menyaksikan banyak pertikaian. Maka kalian wajib berpegang-teguh kepada sunnahku dan sunnah para khulafur-rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi taring. Dan hindarilah perbuatan yang diada-adakan. Karena setiap bid’ah adalah sesat.”

 

 

 

Salah satu wasiat penting itu adalah agar umat Islam berpegang teguh pada Kitabullah yakni Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. serta sunnah para khulafaurrasyidin (pengganti Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. yang mendapat bimbingan Allah). Sikap ini adalah satu-satunya pilihan agar umat manusia mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, terutama saat menghadapi berbagai silang sengketa berbagai pendapat manusia dan saat terjadi banyak perselisihan.

Dengan redaksi lain, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. bersabda,

 

 

“Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua hal. Kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya: Kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah Nabi-Nya.” (H.R. Imam Malik)

 

 

Sebelum masuk ke pembahasan lebih lanjut, tidak ada salahnya disampaikan kembali apa itu ‘sunnah’ secara ringkas. Secara lughawi (bahasa) ‘sunnah’ bermakna “perjalanan hidup”, entah yang baik atau yang buruk. Sedangkan secara istilah, ‘sunnah’ adalah “segala ucapan, perbuatan, dan persetujuan (taqrir) Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam.” Selain dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam, sunnah juga bisa dinisbatkan kepada khulafaur-rasyidin,  sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah Saw. dalam hadis tersebut.

 

 

Para ulama ahlussunah sepakat bahwa empat khalifah pertama yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalin –semoga Allah meridoi mereka semuanya– adalah termasuk khulafaur-rasyidin. Dan, banyak ulama yang menyebutkan bahwa Umar bin Abdul Aziz (seorang tabi’in yang hidup pada genersi setelah sahabat) adalah termasuk khulafar-rusayidin.

 

 

Kata ‘sunnah’ juga sering diganti dengan kata ‘hadis’. Sehingga, kita sering mengatakan Quran Sunnah atau Quran Hadis. Secara bahasa ‘hadis’ berarti “baru” atau “kabar/berita”. Secara istilah, hadis didefiniskan, “Segala sesuatu yang disandarkan (dinisbatkan) kepada Rasulullah Saw. baik berupa ucapan, perbuatan, atau persertujuannya.” Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa secara umum hadis adalah sunnah dan sunnah adalah hadis.

 

 

Dari masa ke masa, selalu ada saja orang yang mengatakan beriman kepada Qur’an tapi tidak mau melaksanakan sunnah/hadis alias menolaknya sebagai landasan hukum.  Padahalan, mengamalkan sunnah tidak dapat dipisahkan dari memuliakan Al-Qur’an seperti yang telah kita bahas pada beberapa edisi terdahulu.

 

 

Tidaklah seseorang disebut memuliakan Al-Qur’an manakala dia tidak menjalankan dan berpegang teguh pada sunnah Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. Karena, Al-Qur’an itu sendirilah yang memerintahkan kita taat kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. dengan mengamalkannya. Di antara ayat-ayat yang memerintahkan kita berpegang pada sunnah Rasulullah Saw. adalah:

 

 

 “Apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, tidaklah pantas bagi laki-laki dan perempuan mukmin untuk membuat pilihan lain. Barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (Q.S. Al-Aĥzāb [33]: 36)

 

 

Ayat tersebut menegaskan tentang hak Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. untuk ditaati saat beliau mengambil keputusan dalam satu perkara. Dan, segala keputusan Rasulullah Saw. itu adalah bagian dari sunnahnya.

 

 

 “Hai, orang-orang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Ĥujurāt [49]: 1)

 

 

Ayat tersebut melarang umat Islam untuk mendahulukan pendapat dirinya daripada yang Allah dan Rasulullah Saw. perintahkan atau ajarkan.

 

 

Katakan (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, pasti Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Katakan (Muhammad), ‘Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir.’” (Q.S. Āli ‘Imrān [3]: 31-32)

 

 

Ayat ini secara gamblang menjelaskan bahwa jika ingin membuktikan cinta kepada Allah Subhanahu wa ta'ala., maka kita harus mengikuti dan menaati segala yang diajarkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. Ayat-ayat tersebut ditambah dengan ayat-ayat lainnya menegaskan tentang wajibnya taat kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. Oleh karena itu, jika seseorang menjalankan sunnah Rasulullah Saw. maka dia sedang menjalankan perintah Allah dalam Al-Qur’an. Dan sebaliknya, bila dia menolak menerima sunnah sebagai landasan hukum, maka batallah klaim atau pengakuannya bahwa dirinya mengimani Al-Qur’an. Dengan menolak sunnah, berarti dia telah menolak sejumlah ayat Al-Qur’an. Dan, menolak sebagian Al-Qur’an sama dengan menolak keseluruhannya.

 

 

Ada lagi orang yang mengatakan begini, “Kalau suatu hadis bertentangan dengan logika, maka hadis itu harus ditolak.” Pertanyaannya adalah, apa yang menjadi parameter benar atau salah logika itu? Apa jaminan logika manusia selalu benar sehingga dapat menjadi alat untuk mengoreksi hadits?” Jika ‘kaidah’ ngawur itu diikuti maka akan tumbanglah banyak prinsip Islam yang diajarkan di dalam sunnah Rasulullah Saw. Setiap hadis yang tidak sejalan dengan logika atau tidak difahami secara logika lantas ditolak mentah-mentah oleh mereka.

 

Ini sebuah pandangan yang tidak pernah muncul dari para ulama ahlus-sunnah. Ulama ahlus-sunnah menegaskan bahwa  hawa nafsu dan logika harus tunduk pada wahyu, yakni Al-Qur’an dan Sunnah. Bukankah Ali bin Thalib sendiri berkata,

 

Seandainya agama itu berdasarkan logika, niscaya bagian bawah sepatulah yang lebih penting diusap ketimbang atasnya. Tapi aku sudah melihat Rasulullah Saw. mengusap bagian atasnya.” (Diriwayatkan olehAbu Dawud, sanadnya hasan)

 

Logika (akal) justru berguna untuk mendukung Al-Qur’an dan sunnah dalam membongkar rahasia-rahasia dan hikmah dari perintah Allah dan Rasulullah Saw., bukan untuk menumbangkanya. Semoga bermanfaat. Allahu a’lam. [ ]


Red: iman

Editor: admin