Oleh: Eeng Nurhaeni*
Obat psikotropika ( Narkoba) sering membuat pemakai kecanduan ( ilustrasi foto: freepik ) |
INDONESIA, HIDAYATULLAHJABAR.COM - - Al-Quran melarang orang beriman mendekati shalat saat dalam keadaan mabuk, sampai sadar apa yang diucapkan. Hal ini disampaikan Allah langsung dalam Surat an-Nisa ayat 43.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun." ( QS.An-Nisa [4]: 43)
Memang
ketika perintah shalat dikumandangkan, masih ada sahabat-sahabat Nabi yang
melakukannya dalam keadaan mabuk, di antaranya Umar bin Khattab, yang pernah
merasa keberatan dengan pelarangan minuman keras (khamr), karena – menurutnya –
tidak ada dampak negatif yang ditimbulkan olehnya. Barulah pada surat
al-Baqarah (ayat 219) dipertegas tentang pelarangan khamr dan judi, yang dampak
negatifnya jauh lebih besar ketimbang manfaatnya.
Kenapa
kita tak boleh shalat dalam keadaan mabuk? Karena pelaksanaan ibadah shalat
adalah momentum kesadaran dan konektisitas dengan Tuhan Yang Maha Menguasai
jagat raya ini. Jika kita melakukannya dalam kondisi tidak sadar, atau setengah
sadar, maka apa-apa yang dibacakan melalui suara – atau di dalam hati – tidak
dimengerti oleh si pembacanya sendiri.
Orang
yang kecanduan minuman keras (khamr) akan merasa dirinya terikat pada zat yang
memabukkan itu. Jika pun berhasil untuk berhenti darinya, nampaknya sulit untuk
merawat dan memertahankannya. Orang yang kecanduan pada nikotin, alkohol atau
zat-zat adiktif menimbulkan sindrom ketergantungan, atau perasaan yang kuat
terhadap penggunaan zat tersebut, seakan dipaksa untuk terus-menerus
mengonsumsi dan menikmatinya.
Karena
itu, akan ada kemunduran fisiologis saat penggunaan zat tersebut dihentikan
atau dikurangi, atau menggunakan zat lain untuk meringankan dan mencegah gejala
delusi yang berlebihan. Pecandu minuman keras akan mengancam kesehatan individu
yang dampaknya akan meluas hingga menimbulkan masalah-masalah sosial secara
masif.
Pada
saat kecanduan, seseorang cenderung terpikat pada hal-hal yang dianggap membawa
hasil, walaupun hanya sesaat. Di sini jelas, bahwa perilaku adiktif seringkali
muncul sebagai solusi bagi masalah yang malah menjadikannya bertambah parah. Ini
menciptakan lingkaran setan, ketika semakin seseorang mengandalkan sesuatu,
semakin ia merasa membutuhkannya.
Agama
Sebagai Candu
Apapun
yang dinamakan kecanduan tak lain dari pola hidup berkelebihan, mubazir dan
serakah. Namun, bagaimana jika kita mengalami ekstase hingga kecanduan dalam
soal beragama?
Hidup
merupakan anugerah luar biasa yang diberikan Tuhan pada kita. Hidup merupakan
petualangan untuk dijelajahi sepenuhnya.
Dalam
perjalanan ini, kita tidak akan menyia-nyiakan dan merusak kehidupan demi
apapun selainnya akibat takut menghentikan pola perilaku yang menjadi
kebiasaan, tak terkecuali dalam menjalankan praktik peribadatan untuk mencapai
suatu target atau maksud tertentu.
Salah
satu tragedi dalam kebudayaan manusia akhir-akhir ini, adalah bahwa kita begitu
takut miskin maupun mati. Akhirnya, kita pun begitu takut untuk melepas
ketergantungan akan kedudukan maupun kekayaan duniawi. Tak terkecuali pada
ketergantungan dan kecanduan dalam hidup beragama.
Entitas
fakta ini nampaknya berseberangan dengan misi besar Tuhan yang diniscayakan
agama menjadi kekuatan pemersatu dan perukun antar umat manusia. Agama yang
mestinya dijadikan alat untuk meredakan berbagai konflik yang menimbulkan
intolerasi dan perpecahan, nampaknya dianggap kurang berhasil menjadi instrumen
perekat, wadah perdamaian, kesejahteraan, serta akses menuju Tuhan yang
mendamaikan dan menyejahterakan.
Terkait dengan ini, Ibnu Khaldun menyitir orang-orang yang kecanduan beragama secara konservatif, biasanya terdapat di kalangan orang-orang pedalaman (badawah) ketimbang orang perkotaan yang lebih maju dan progresif (hadlarah). Di dalam Al-Quran (al-Hujurat: 14), dijelaskan mengenai pengakuan orang pedalaman bahwa dirinya telah beriman, akan tetapi Allah memperingatkan,
“Katakanlah
(Muhammad), mereka itu belum beriman tetapi baru Islam, karena keimanan itu
berlum merasuk ke dalam kalbu mereka.” ( QS.Al-Hujurat: 14)
Di
sini jelas, bahwa kualitas iman yang baik seumumnya dimiliki orang-orang
progresif yang berpikir matang dan reflektif. Di tangan orang-orang cerdas yang
berperadaban tinggi, agama takkan berfungsi sebagai candu yang meninabobokan,
melainkan dihidupi dengan penuh kesadaran, lalu semangat keberagamaan justru
akan memperkuat persatuan dan gotong-royong (ashabiyah) hingga sanggup
meminimalisir terjadinya konflik di tengah masyarakat.
Kritik Ajaran Marxisme
Pesan
dan nilai-nilai kebaikan yang dibawa setiap agama berpotensi berubah lantaran
perbedaan pemahaman dan paradigma para pemeluk agama itu sendiri. Di sisi lain,
intervensi kepentingan oknum tertentu – untuk motif tertentu – yang
mengatasnamakan agama guna memperlancar akses visi dan misinya.
Tipikal
keberagamaan seperti itu yang membuat Karl Marx merasa jengah, hingga
melancarkan kritikannya terhadap praktik dan sistem Gereja di Eropa, khususnya
pada abad pertengahan lalu. Bagi Marx, agama merupakan candu yang menjerat dan
mengkerangkeng pemeluknya.
Pelarian
atas kekalahan menghadapi hidup, dengan mencandu diri dalam aktivitas
keberagamaan, adalah cara orang-orang lemah dan tak berdaya dalam menghadapi
segala problematika hidup. Marx sendiri menyebutnya sebagai “opium” atau obat
penenang yang membuat ketagihan, serta dianggap tak pernah menyelesaikan
masalah, tetapi hanya ilusi yang semakin memperburuk keadaan.
Pada
prinsipnya, kritik Marx bukan mengarah pada nilai dan ajaran Kristiani, akan
tetapi terhadap penyelewengan dan penyalahgunaan agama, sebagaimana
penyalahgunaan obat bagi para pecandu narkoba. Dapat pula disimpulkan, bahwa
konflik yang dilatari agama selama ini tak lain sebagai bentuk penyelewangan
oknum dari spirit dan esensi ajaran agama.
Sebab,
baik Kristen, Islam, Yahudi, Kong Hu Cu, Hindu-Budha dan lain-lain, tentu
membawa misi dan pesan-pesan kebaikan dan perdamaian. Politisasi agama oleh
individu atau kelompok masyarakat yang berkepentingan dalam melancarkan
tujuannya jelas-jelas menodai citra agama yang merupakan guide of life untuk
kedamaian dan kesejahteraan hidup manusia di muka bumi ini.
Terlepas
dari kritik Marx yang tendensius, pada hakikatnya perilaku kecanduan atau
ketergantungan adalah sifat-sifat manusiawi yang membuat setiap individu maupun
kelompok senantiasa bersandar dan berpegang kepadanya. Bukankah sejak bayi kita
mencandu susu ibu?
Ketika
beranjak balita kita mencandu pada jenis makanan atau minuman yang manis-manis,
permen, cokelat dan lain-lain. Ketika remaja kita memiliki kecenderungan pada
lawan jenis (secara biologis) atau mengonsumsi dan mengoleksi benda dan barang
yang dicintai, lalu, ketika kita beranjak dewasa dan menua, kepada apa lagi
kita hendak mencandu?
Ibnu
Khaldun menyampaikan pendapat yang sehaluan dengan Michael Bakunin dan Carl
Gustav Jung, bahwa bagaimanapun agama adalah kendaraan yang paling nyaman dan
aman untuk mencapai hidup tentram dan bahagia. Namun demikian dalam cara-cara
beragama, seseorang dilarang melakukannya secara berlebihan, hingga membiarkan
dirinya kehilangan nurani dan akal sehatnya. [ ]
*Penulis
adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Lebak, Banten
Red:
admin
Editor:
iman