![]() |
| Foto bersama unsur Pimpinan Pusat Hidayatullah 2025-2030 ( foto: tangkapan layar) |
JAKARTA - - Hidayatullah menggelar Musyawarah Nasional (Munas) ke-6 tahun 2025. Acara yang berlangsung di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta ini berlangsung selama 3 hari (21-23 Oktober 2025).
Salah satu agenda utama dalam Munas ini adalah
memilih dan menetapkan Ketua Umum Pimpinan Pusat yang akan memimpin 5 tahun
kedepan. Seperti dikutip dari channel youtube HIDAYATULLAH.ID, Selasa
(22/10/2025) berikut ini Susunan Pengurus Pimpinan Pusat Hidayatullah 2025-2030:
Rois Am:
KH Abdurahman Muhammad
Majelis Penasehat:
-
Ust. Abdul
Latif Usman (Ketua)
-
Ust. Amin
Mahmud
-
Ust. Abdul
Kadir Djaelani
-
Ust. Nursyamsa
Hadits
-
Ust. Fathul
Adzim
Pimpinan Majelis Syuro:
-
Ust. Hamim
Thohari (Ketua)
-
Ust. Aziz
Qahar Muzakkar
-
Ust. Abdul
Rahman
-
Ust. Nashirul
Haq
Dewan Mudzakarah:
-
Ust.
Abu A'la Abdullah (Ketua)
Dewan Murabbi Pusat:
-
Ust.
Tasyrif Amin
Dewan Pengurus Pusat:
-
Ust.
Nasyfi Arsyad (Ketua Umum)
Sebelum Musyawarah Nasional (Munas) ke-6
Hidayatullah ini resmi dibuka oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr.
K.H. Nasaruddin Umar, M.A., Selasa (21/10/2025)
Dalam sambutannya, Menag Nasaruddin Umar
menyampaikan apresiasinya terhadap dinamika Munas Hidayatullah yang dinilainya
menggambarkan kematangan organisasi Islam dalam memadukan nilai keislaman dan
keindonesiaan.
“Saya melihat Hidayatullah tumbuh begitu
pesat dan kini mencakup hampir seluruh wilayah Indonesia dalam waktu yang
relatif singkat. Ini menunjukkan semangat khaira ummah yang patut diapresiasi,”
ujarnya dikutip dari hidayatullah.or.id
Ia kemudian menyoroti tantangan besar
dakwah di era post-truth, di mana kebenaran sering kali dipelintir oleh
kepentingan politik dan persepsi sosial.
Menurutnya, jika dahulu masyarakat mudah
menerima kebenaran berdasarkan ayat, hadis, dan undang-undang dengan sikap
sami‘na wa atha‘na, kini ketiganya dapat direlatifkan oleh wacana publik.
“Dalam era post-truth seperti sekarang ini,
kebenaran yang bersumber dari ayat, hadis, dan undang-undang ternyata bisa
direlatifkan oleh politik,” tegasnya.
Menag menilai, kondisi ini menuntut para
dai dan ormas Islam mengembangkan seni dalam berdakwah.
“Diperlukan bukan hanya penyampaian
kebenaran itu sendiri, tapi juga metodologi yang lebih khusus lagi—diperlukan
seni di dalam berdakwah,” jelas Imam Besar Masjid Istiqlal itu.
Dalam arahannya, Nasaruddin Umar juga
menguraikan pentingnya membedakan antara konsep al-khair (kebajikan) dan
al-ma‘ruf (prinsip kebajikan). Menurutnya, al-khair menuntut pendekatan
induktif dari bawah ke atas sebagai wujud ajakan atau da‘wah yang menghargai
pluralitas masyarakat.
Sedangkan al-ma‘ruf, sambungnya, menuntut
pendekatan deduktif dari atas ke bawah yang menjadi landasan ketegasan prinsip
dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran.
Lebih lanjut, Menag mengingatkan bahwa
dakwah tidak bisa dilakukan dengan satu pendekatan seragam. Masyarakat
Indonesia yang sangat majemuk menuntut strategi yang beragam, sensitif terhadap
konteks sosial, budaya, dan tingkat pengetahuan umat.
“Ormas Islam perlu memahami secara mikro
keragaman masyarakat Indonesia,” pesannya.
Pada bagian akhir pidatonya, Nasaruddin
Umar menyinggung filosofi Ummah sebagai komunitas ideal yang berpijak pada
cinta kasih sejati. Dari akar kata yang sama, lahir istilah seperti ummi (ibu,
pencinta sejati), imam (pemimpin), dan makmum (pengikut santun)—semuanya
menggambarkan keterikatan sosial yang dilandasi kasih dan kepemimpinan moral.
“Komunitas yang diikat oleh kasih sayang mendalam, itulah Ummah,” ungkapnya.
Menutup arahannya, ia berpesan agar
Hidayatullah terus meneguhkan jati dirinya sebagai pembawa petunjuk bagi umat.
“Jadilah Irsyadul Ibad, jadilah Hidayatullah, dan jadilah pemimpin umat,”
pungkas Menag.
Pembukaan Munas ke-6 Hidayatullah ditandai
dengan pemukulan gong oleh Menteri Agama, disusul penyerahan plakat penghargaan
dari Ketua Umum DPP Hidayatullah, Dr. H. Nashirul Haq, M.A., sebagai simbol
persaudaraan dan komitmen bersama dalam menegakkan dakwah berkeadaban. [ ]

